بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Menjual
jimat, sebuah bisnis yang akhir-akhir ini sangat menguntungkan,
sehingga tidak jarang memunculkan orang kaya-orang kaya baru dalam
bisnis ini. Penjualnya pun beraneka ragam, dari yang terang-terangan
berlabel dukun sampai yang dipanggil kiai atau ustadz, bahkan da’i
kondang. Pelanggannya juga cukup banyak, mulai dari orang-orang
berpangkat, artis, konglomerat hingga rakyat jelata. Berbagai macam
iklan penjualan jimat muncul di berbagai media, baik pada media umum
maupun media khusus perdukunan, bahkan media “islami” (baca: tasawuf,
sihir).
Beberapa Macam Bentuk Jimat di Masyarakat
- Batu Akik, Keris, Rajah, rantai babi, mustika, benda-benda bertuah, dll
- Jimat keberuntungan
- Jimat penghasilan
- Jimat penglaris dagangan
- Jimat kekuatan dan keberanian
- Jimat kebal senjata tajam
- Jimat perlindungan diri
- Jimat perlindungan kendaraan dan rumah
- Jimat kecintaan
- Jimat keselamatan, dll
Bagaimana Hukum Jimat dalam Islam?
Ketahuilah, mengenakan jimat dan mempercayainya dapat memberikan manfaat atau melindungi dari bahaya dan menolak bala’ adalah syirik besar yang menyebabkan pelakunya murtad, keluar dari Islam.
Adapun mengenakan jimat dan meyakini Allah ta’ala yang memberikan
manfaat atau melindungi dari bahaya dan menolak bala’, sedang jimat itu
hanya sebagai sebab adalah syirik kecil, termasuk dosa besar yang membinasakan.
Mempercayai jimat termasuk syirik besar karena dalam keyakinan tersebut terkandung makna syirik, yaitu penyamaan antara Allah ta’ala dengan makhluk dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah ta’ala, dalam hal ini adalah memberikan manfaat, melindungi dari bahaya dan menolak bala’.
Dalil-dalil Umum Pengharaman Jimat
Allah ta’ala menegaskan,
قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنفَعُكُمْ شَيْئًا وَلا يَضُرُّكُمْ
“Ibrahim berkata: “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudarat kepada kamu?” [Al-Anbiya’: 66]
Juga firman-Nya,
قُلِ ادْعُواْ الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً
“Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap sesembahan selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya.” [Al-Isra’: 56]
Juga firman-Nya,
أَفَرَأَيْتُمْ
مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ
هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ
مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ
الْمُتَوَكِّلُونَ
“Katakanlah:
“Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah,
jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku, apakah
berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudaratan itu, atau jika
Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan
rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya lah
bertawakal orang-orang yang berserah diri.” [Az-Zumar: 38]
Ayat-ayat
di atas semuanya menunjukan bahwa hanya Allah ta’ala yang mampu
memberikan manfaat dan menimpakan bahaya, maka hal itu merupakan sifat rububiyah Allah
ta’ala yang harus diyakini oleh setiap hamba, sehingga apabila
seseorang meyakini hal itu ada pada selain-Nya seperti pada malaikat,
nabi, wali, jin dan jimat-jimat maka berarti dia telah menyekutukan
Allah tabaraka wa ta’ala.
Al-Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
لا
تستطيع شيئا من الأمر وذكر ابن أبي حاتم هاهنا حديث قيس بن الحجاج عن حنش
الصنعاني عن ابن عباس مرفوعا احفظ الله يحفظك احفظ الله تجده تجاهك تعرف
إلى الله في الرخاء يعرفك في الشدة إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت
فاستعن بالله، واعلم أن الأمة لو اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يكتبه الله
عليك لم يضروك ولو اجتمعوا على أن ينفعوك بشيء لم يكتبه الله لك لم
ينفعوك جفت الصحف ورفعت الأقلام واعمل لله بالشكر في اليقين واعلم أن
الصبر على ما تكره خير كثير، وأن النصر مع الصبر، وأن الفرج مع الكرب وأن
مع العسر يسرا
“Semua
makhluk yang disembah tersebut tidak sedikitpun memiliki kemampuan
dalam menentukan perkara (manfaat maupun mudarat). Dan di sini, Ibnu
Abi Hatim menyebutkan hadits Qois bin Al-Hajjaj, dari Hanasy As-Shon’ani, dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Jagalah
(ketentuan-ketentuan) Allah niscaya Dia akan menjagamu, jagalah
(batasan-batasan) Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya selalu berada
di depanmu (menolongmu). Kenali Allah dalam kelapangan niscaya Dia
akan mengenalmu (menolongmu) dalam kesusahan. Jika kamu meminta maka
mintalah kepada Allah, dan jika kamu memohon pertolongan maka mohonlah
kepada Allah.
Dan
ketahuilah, andaikata seluruh umat bersatu untuk menimpakan suatu
bahaya kepadamu yang tidak Allah tentukan menimpamu maka mereka tidak
akan mampu melakukannya. Dan andaikan mereka bersatu untuk memberikan
suatu manfaat kepadamu yang tidak Allah ta’ala tentukan untukmu maka
mereka tidak akan mampu melakukannya. Telah kering catatan-catatan
(takdir) dan pena-pena telah diangkat.
Dan
lakukanlah amalan hanya bagi Allah dengan kesyukuran dalam keyakinan.
Dan ketahuilah, kesabaran atas sesuatu yang engkau benci adalah
kebaikan yang banyak, dan pertolongan itu selalu bersama kesabaran,
kelapangan bersama kesusahan, dan bersama kesulitan itu ada kemudahan”[1].” [Tafsir Ibnu Katsir, 7/100]
Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,
فهذه الآية وأمثالها تبطل تعلق القلب بغير الله فى جلب أو دفع ضر وأن ذلك شرك بالله
“Ayat
ini dan ayat-ayat yang semisalnya membatilkan ketergantungan hati
kepada selain Allah ta’ala dalam meraih kemanfaatan atau menolak
kemudaratan, dan bahwasannya hal itu termasuk syirik kepada Allah
ta’ala.” [Fathul Majid, hal. 111]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
والشاهد
من هذه الآية أن هذه الأصنام لا تنفع أصحابها لا بجلب نفع ولا بدفع ضر
فليست أسبابا لذلك فيقاس عليها كل ما ليس بسبب شرعي أو قدري فيعتبر اتخاذه
سببا إشراكا بالله
“Dan syahid dari
ayat ini adalah bahwa patung-patung yang mereka sembah itu tidak
sedikitpun bisa memberi manfaat kepada para penyembahnya; tidak bisa
mendatangkan manfaat dan tidak pula bisa menolak mudarat. Jadi,
patung-patung itu bukanlah sebab-sebab untuk mendatangkan manfaat dan
menolak mudarat, maka dikiaskan di atasnya semua yang bukan sebab syar’i dan qodari, menjadikannya sebagai sebab adalah perbuatan menyekutukan Allah ta’ala.” [Al-Qoulul Mufid, 1/168]
[FAIDAH PENTING DALAM MASALAH “SEBAB”]
Penjelasan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah di
atas merupakan kaidah penting dalam memahami tauhid dan syirik. Bahwa
tauhid adalah bergantung sepenuhnya kepada Allah ta’ala, sedangkan
mengambil sebab untuk meraih suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan
tidak dilarang dalam Islam, bahkan dianjurkan. Tetapi dengan syarat,
sebab tersebut adalah sebab syar’i atau sebab qodari.
Sebab syar’i maksudnya
adalah sebab yang dijelaskan oleh dalil syar’i. Contohnya, membaca
surat Al-Fatihah untuk orang sakit adalah sebab kesembuhannya.
Adapun yang dimaksud dengan sebab qodari adalah sebab yang Allah ta’ala ciptakan sebagai sebab di alam ini dan dapat diketahui dengan dua cara: Pertama, dengan dalil syar’i dan Kedua, dengan penelitian ilmiah dan percobaan.
Contoh yang dapat diketahui dengan dalil syar’i, seperti madu, habbatus sauda’, kencing unta untuk obat sakit perut, bekam dan lain-lain adalah sebab-sebab kesembuhan.
Contoh
yang dapat diketahui dengan penelitian ilmiah dan percobaan, seperti
umumnya obat-obat antibiotik kedokteran modern yang merupakan sebab
untuk menekan atau menghentikan perkembangan bakteri atau
mikroorganisme berbahaya yang berada di dalam tubuh.
Maka menjadikan sesuatu sebagai sebab, padahal ia bukanlah sebab syar’i dan bukan pula sebab qodari adalah perbuatan syirik. Contohnya
sangat banyak sekali, seperti perbuatan sebagian orang yang mengambil
batu-batuan di kuburan orang shalih, potongan kiswah penutup ka’bah dan
benda-benda lainnya untuk dijadikan jimat adalah termasuk perbuatan
menyekutukan Allah ta’ala. Karena benda-benda tersebut bukanlah sebab syari’i maupun qodari.
Kesyirikan
di sini pun bertingkat, bisa jadi syirik besar dan bisa jadi syirik
kecil. Syirik besar jika seseorang meyakini bahwa jimat dapat
melindunginya dari bahaya atau menghilangkan bahaya tersebut. Dan
syirik kecil jika dia meyakini jimat itu hanyalah sebab, sedang Allah
ta’ala Dialah yang melindunginya dari bahaya atau menghilangkan bahaya
tersebut, karena apabila seseorang meyakini sesuatu sebagai sebab padahal Allah ta’ala tidak menetapkannya sebagai sebab, baik syar’i maupun qodari, maka seakan-akan dia telah menyamakan dirinya dengan Allah ta’ala dalam menentukan sesuatu sebagai sebab.
Dan manusia dalam masalah sebab terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama: Mereka yang menafikan sebab, mereka adalah orang-orang yang menafikan sifat hikmah Allah ta’ala, seperti kelompok Al-Jabriyah dan Al-Asy’ariyah.
Kedua: Mereka
yang berlebih-lebihan dalam menetapkan sebab sampai mereka jadikan
yang bukan sebab sebagai sebab, mereka adalah kebanyakan penganut khurafat dari kalangan Shufiyah dan yang semisalnya.
Ketiga: Mereka
yang mempercayai adanya sebab-sebab yang memiliki pengaruh dengan izin
Allah ta’ala, akan tetapi mereka tidak menetapkan sesuatu sebagai
sebab kecuali ditetapkan oleh Allah ta’ala, apakah sebab syar’i atau qodari. Inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[Lihat Al-Qoulul Mufid, 1/164-165]
Dalil-dalil Khusus Pengharaman Jimat
Sahabat yang mulia ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu’anhu menuturkan,
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ إِلَيْهِ
رَهْطٌ فَبَايَعَ تِسْعَةً وَأَمْسَكَ عَنْ وَاحِدٍ فَقَالُوا يَا رَسُولَ
اللهِ بَايَعْتَ تِسْعَةً وَتَرَكْتَ هَذَا قَالَ إِنَّ عَلَيْهِ
تَمِيمَةً فَأَدْخَلَ يَدَهُ فَقَطَعَهَافَبَايَعَهُ وَقَالَ مَنْ عَلَّقَ
تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Bahwasannya
telah datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sepuluh
orang (untuk melakukan bai’at), maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
membai’at sembilan orang dan tidak membai’at satu orang. Maka mereka
berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau membai’at sembilan dan
meninggalkan satu orang ini?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya dia
mengenakan jimat.” Maka orang itu memasukkan tangannya dan memotong
jimat tersebut, barulah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam membai’atnya
dan beliau bersabda, “Barangsiapa yang mengenakan jimat maka dia telah
menyekutukan Allah”.” [HR. Ahmad, no. 17422. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Isnadnya kuat,” dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 492]
Dalam riwayat lain, Sahabat yang mulia ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu berkata, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
“Barangsiapa yang mengenakan jimat maka Allah ta’ala tidak akan menyempurnakan hajatnya, dan barangsiapa yang mengenakan wada’ah (jimat batu pantai) maka Allah ta’ala tidak akan memberikan ketenangan kepadanya.” [HR. Ahmad, no. 17404. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Hadits hasan.”]
Sahabat yang mulia Imron bin Al-Hushain radhiyallahu’anhu menuturkan,
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ
رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ وَيْحَكَ مَا هَذِهِ
قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ
وَهْنًا انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا
أَفْلَحْتَ أَبَدًا
“Bahwasannya
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melihat di tangan seorang laki-laki
terdapat gelang dari tembaga, maka beliau berkata, “Celaka engkau, apa
ini?” Orang itu berkata, “Untuk menangkal penyakit yang dapat menimpa
tangan.” Beliau bersabda, “Ketahuilah, benda itu tidak menambah apapun
kepadamu kecuali kelemahan, keluarkanlah benda itu darimu, karena
sesungguhnya jika engkau mati dan benda itu masih bersamamu maka kamu
tidak akan beruntung selama-lamanya”[2].” [HR. Ahmad, no. 20000]
Sahabat yang mulia Abu Basyir Al-Anshori radhiyallahu’anhu berkata,
أَنَّهُ
كَانَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ
قَالَ عَبْدُ اللهِ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ وَالنَّاسُ فِي مَبِيتِهِمْ
فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَسُولاً أَنْ لاَ
يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلاَدَةٌ
إِلاَّ قُطِعَتْ
“Bahwasannya
beliau pernah bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pada
salah satu perjalanan beliau –berkata Abdullah (rawi): Aku mengira
beliau mengatakan-, ketika itu manusia berada pada tempat bermalam
mereka, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengutus seseorang
untuk menyampaikan, “Janganlah tertinggal di leher hewan tunggangan
sebuah kalung dari busur panah atau kalung apa saja kecuali
diputuskan”.” [HR. Al-Bukhari no. 3005 dan Muslim no. 5671]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqoloni Asy-Syafi’i rahimahullah menyebutkan diantara penjelasan ulama terhadap hadits di atas,
أنهم
كانوا يقلدون الإبل أوتار القسي لئلا تصيبها العين بزعمهم فأمروا بقطعها
اعلاما بأن الأوتار لا ترد من أمر الله شيئا وهذا قول مالك قلت وقع ذلك
متصلا بالحديث من كلامه في الموطأ وعند مسلم وأبي داود وغيرهما قال مالك
أرى أن ذلك من أجل العين ويؤيده حديث عقبة بن عامر رفعه من علق تميمة فلا
أتم الله له أخرجه أبو داود أيضا
“Bahwasannya
di zaman Jahiliyah dahulu mereka memakaikan kalung-kalung bususr panah
keras terhadap onta mereka agar tidak terkena penyakit ‘ain menurut
sangkaan mereka. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan
mereka untuk memutuskan kalung-kalung tersebut sebagai pengajaran
kepada mereka bahwa jimat-jimat itu tidak sedikitpun dapat menolak
ketentuan Allah ta’ala. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik rahimahullah tentang makna hadits ini.
Aku (Al-Hafizh Ibnu Hajar) berkata, pendapat tersebut beliau sebutkan setelah meriwayatkan hadits ini dalam kitab Al-Muwathho’, juga disebutkan oleh Muslim, Abu Daud dan selainnya. Malik berkata, “Menurutku mereka menggunakan jimat itu untuk menangkal penyakit ‘ain.” Dan yang mendukung makna tersebut adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu secara marfu’, “Barangsiapa yang bergantung kepada jimat maka Allah ta’ala tidak akan menyempurnakan urusannya.”Juga diriwayatkan oleh Abu Daud.” [Fathul Bari, 6/142]
Sahabat yang mulia Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadaku,
يَا
رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِى فَأَخْبِرِ
النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا أَوِ
اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا -صلى الله
عليه وسلم- مِنْهُ بَرِىءٌ
“Wahai Ruwaifi’,
bisa jadi engkau akan hidup lama sepeninggalku, maka kabarkanlah
kepada manusia, bahwasannya siapa yang mengikat jenggotnya, atau
menggunakan kalung (jimat) dari busur panah, atau beristinja dengan
kotoran hewan atau tulang, maka Muhammad –shallallahu’alaihi wa sallam-
berlepas diri darinya.” [HR. Abu Daud, no. 36, Shahih Abi Daud, no. 27]
Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya mantra-mantra, jimat-jimat dan pelet itu syirik.” [HR. Ahmad, no. 3615, Abu Daud no. 1776, 3883 dan Ibnu Majah, no. 3530. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Shahih lighairihi,” dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, no. 2854]
Sahabat yang mulia Abu Ma’bad Abdullah bin ‘Ukaim Al-Juhani radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa
yang bergantung kepada sesuatu (makhluk seperti jimat dan yang
lainnya) maka dia akan dibiarkan bersandar kepada makhluk tersebut
(tidak ditolong oleh Allah ta’ala).” [HR. Ahmad, no. 18781,
18786 dan At-Tirmidzi, no. 2072. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata,
“Hasan ligairihi,” dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ghayatul Marom, no. 297]
Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,
التعلق
يكون بالقلب ويكون بالفعل ويكون بهما وكل إليه أي وكله الله إلى ذلك الشئ
الذي تعلقه فمن تعلق بالله وأنزل حوائجه إليه والتجأ إليه وفوض أمره إليه
وكفاه وقرب إليه كل بعيد ويسر له كل عسير ومن تعلق بغيره أو سكن إلى رأيه
وعقله ودوائه وتمائمه ونحو ذلك وكله الله إلى ذلك وخذله وهذا معروف
بالنصوص والتجارب قال تعالى ومن يتوكل على الله فهو حسبه
“Bergantung
kepada sesuatu itu bisa jadi dengan hati, bisa pula dengan perbuatan
dan bisa pula dengan hati dan perbuatan sekaligus. Allah ta’ala
menjadikan pelakunya bergantung kepada sesuatu tersebut, maksudnya
adalah Allah ta’ala jadikan dia bergantung kepada sesuatu yang dia
jadikan sebagai tempat bergantung.
Maka
barangsiapa yang bergantung kepada Allah ta’ala, memohon
hajat-hajatnya kepada-Nya, bersandar kepada-Nya, memasrahkan urusannya
kepada-Nya niscaya Allah ta’ala akan mencukupinya, mendekatkan baginya
setiap yang jauh, memudahkan baginya semua yang sulit.
Dan
barangsiapa yang bergantung kepada selain-Nya atau lebih tenang
(ketika bersandar) kepada pendapatnya, akalnya, obatnya, jimat-jimatnya
dan yang semisalnya maka Allah ta’ala jadikan dia bergantung kepada
makhluk-makhluk tersebut dan Allah ta’ala menghinakannya. Dan ini sudah
dimaklumi berdasarkan dalil-dalil dan kenyataan. Allah ta’ala
berfirman,
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah maka cukuplah Allah sebagai penolongnya.” [Ath-Tholaq: 3].” [Fathul Majid, hal. 124]
Wallahu A’lam.
[1] HR. Ahmad (1/293) dan At-Tirmidzi (2516) dari jalan Al-Laits bin Sa’ad, dari Qois bin Al-Hajjaj. Dan At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”
[2] Sanad hadits ini didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah (no. 1029). Akan tetapi terdapat riwayat lain sebagai penguat yang dkeluarkan oleh Al-Khallal dal As-Sunnah (5/64 no. 1623) dan penguat lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Batthah dalam Al-Ibanah Al-Kubro (2/860 no. 1172), Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (2/99 no. 1439 dan 8/167 no. 7700), sebagaimana dalam Tanbihat ‘ala Kutubi Takhrij Kitabit Tauhid (hal. 3-6).
Title : JImat dalam Islam
Description : بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Menjual jimat, sebuah bisnis yang akhir-akhir ini sangat menguntungkan, sehingga tidak jarang ...
Description : بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Menjual jimat, sebuah bisnis yang akhir-akhir ini sangat menguntungkan, sehingga tidak jarang ...
Post Comment